
loading...
“Mengapa Pemerintah terjebak dengan RON 88? Ini kepentingan siapa? Saya curiga,” kata Fabby lewat keterangan resmi di Jakarta, Senin (16/4/2018).
(Baca Juga: Pemerintah Wajibkan Pertamina Jual Premium di Jawa, Madura dan Bali)
Menurutnya, keanehan bukan hanya pada kualitas Premium yang sangat rendah. Lebih dari itu, juga karena biaya penyediaannya yang sangat mahal. Sebab, BBM jenis tersebut tidak dijual di pasar internasional.
Dengan demikian, penyediaannya dilakukan melalui proses blending BBM RON lebih tinggi, yang juga didatangkan melalui impor. Dari proses tersebut, jelas bahwa biaya untuk penyediaan Premium jauh lebih mahal dibandingkan BBM lain. Meski sama-sama impor, namun tanpa melalui blending.
Kebijakan Pemerintah itu sendiri, akan dituangkan melalui revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian Dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Rencananya, revisi Perpres akan terbit pekan ini.
Fabby menambahkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus memberikan pertimbangan teknis terkait rencana revisi Perpres itu. Misalnya, mengenai besarnya biaya produksi, selisih biaya yang harus ditanggung Pertamina, dan konsekuensinya.
Kalau semua persoalan tersebut dibahas, lanjutnya, maka akan ada kebijakan rasional terkait RON 88. Tidak seperti sekarang, yang cenderung memaksakan dan bahkan ada kepentingan lain di balik kebijakan tadi.
Lanjuta dia menekankan, pada intinya, Pemerintah memang harus menyediakan BBM yang terjangkau. Hanya saja, Pemerintah juga harus cermat dalam memberi penugasan. Makanya sangat aneh, kalau aturan yang baru itu justru mempertahankan Premium meski biayanya lebih besar.
“Apalagi, meski harga ditetapkan Pemerintah, namun Pertamina tidak mendapat subsidi untuk Premium. Jadi, seluruh biaya ditanggung oleh Pertamina,” kata dia.
Dalam kaitan ini, Fabby juga mempertanyakan, mengapa Pemerintah tidak menghapuskan saja BBM Premium. Jika Premium dihapuskan, maka terkait BBM penugasan, Pemerintah bisa menggantinya dengan Pertalite, yang tidak saja lebih berkualitas namun juga memiliki biaya produksi lebih rendah. “Jika sudah menjadi BBM penugasan, Pemerintah bisa menjamin agar harga Pertalite lebih murah,” kata dia.
Secara terpisah, pengamat BUMN Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto menilai, harusnya Pemerintah memberikan fee atau kompensasi kepada BUMN pada setiap penugasan yang diterima. Kalau tidak, maka potential lost BUMN tersebut akan semakin besar.
Apalagi, jika diharuskan menjual di wilayah yang titik-titik pembeliannya tidak banyak, dan di saat permintaan Premium memang menurun drastis seperti sekarang. “Perlahan bisa mati. Karena, siapa yang harus membayar ongkos produksi?” tegas Toto.
Toto menekankan, kompensasi sangat penting. Apalagi, karena selama ini Pemerintah juga tidak memberikan subsidi kepada Premium. Padahal, lanjut dia, setiap Pemerintah mengatur harga dan BUMN harga jual tersebut berada di atas biaya produksi, seharusnya Pemerintah yang memberikan subsidi. Bukan BUMN itu sendiri.
(akr)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "SPBU Pertamina Wajib Jual Premium di Jamali, Pengamat Sebut Aneh"
Post a Comment