
loading...
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, pemicu utama pertumbuhan ekonomi kuartal II/2018 adalah belanja pemerintah yang pada prinsipnya memberikan stimulus fiskal. Namun, akselerasi belanja pemerintah tersebut hanya berdampak pada peningkatan sektor konsumtif. Sementara sektor produktif justru mengalami penurunan, baik dari sisi pertumbuhan maupun kontribusinya.
”Artinya, hampir semua anggaran yang sifatnya stimulus perekonomian sudah dikeluarkan pada kuartal II/ 2018. Sehingga ini mengakibatkan kita sulit memberikan harapan mesin pertumbuhan ini berlanjut pada kuartal ketiga dan keempat,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Enny mengatakan, sektor riil sebagai penopang utama penye rapan tenaga kerja tidak menggeliat meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat. Padahal sektor industri pengolahan merupakan penopang utama atau prime mover perekonomian. Sektor industri hanya tumbuh 3,97% dan industri nonmigas hanya 4,41%(yoy).
”Hampir dipastikan kuartal ketiga dan keempat turun kalau tidak ada gerak cepat dari pemerintah karena mesin penggerak itu sudah terkumpul pada kuartal II/ 2018,” ungkapnya. Selain itu, besarnya akumulasi inventori, yaitu barang yang sudah diproduksi, tidak mampu dijual pada kuartal II/2018.
”Barang- barang produksi dalam negeri hanya tersimpan di gudang sehingga dunia usaha tidak mungkin ekspansi. Kalau tidak ada ekspansi, tidak ada perluasan tenaga kerja, otomatis sumber pendapatan untuk konsumsi bisa menurun. Ini mengkhawatirkan,” kata Enny.
Menurut Enny, adanya momentum Asian Games dan pertemuan IMF-World Bank pada kuartal III/2018 tidak sertamerta memacu pertumbuhan ekonomi secara nasional. ”Asian Games itu coverage-nya lebih ke Jakarta dan Palembang. IMFWorld Bank itu di Bali. Sementara kita bicara nasional, seluruh Indonesia. Jadi itu terbatas, maka harus ada evaluasi dari belanja pemerintah yang tidak produktif,” tuturnya.
Enny menambahkan, investasi di sektor industri harus didorong sehingga memberikan sumber pertumbuhan ekonomi secara jangka panjang. ”Langkah awal adalah memberikan insentif dan fasilitas sektor industri manufaktur agar tidak terbebani,” ucapnya.
Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto mengatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal II/2018 dinilai temporer sehingga sulit mengulang pertumbuhan yang sama pada kuartal berikutnya. ”Kecuali ada upaya serius dari pemerintah untuk membenahi sektor industri dan ekspor. Ini menjadi catatan penting karena industri hanya tumbuh 3,97%, padahal sisi konsumsi meningkat,” ujarnya.
Menurut Eko, tanpa mendorong sektor industri, apalagi industri berorientasi ekspor tentu akan sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% pada 2018. ”Dari sisi ekspor, bagaimana menggenjot ekspor atau minimal mengurangi impor, tapi diganti oleh produk dalam negeri,” ungkapnya.
Eko menambahkan, hingga akhir tahun 2018 diperkirakan masih bisa mencapai 5,2% dengan catatan sektor industri dan ekspor digenjot. ”Kalau tidak arahnya ke 5,1% karena ada pengetatan itu. Target 5,2% itu masih realistis. Peluang masih ada, tetapi harus ada perubahan pola cara untuk menstimulasi ekonomi,” katanya.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2018 sebesar 5,27%. Angka itu lebih tinggi jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/ 2018 yang mencapai 5,06% dan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2017 sebesar 5,01%. Secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I/2018 dibandingkan dengan semester I/ 2017 tumbuh sebesar 5,17%.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, ekonomi Indonesia kuartal II/2018 terhadap triwulan sebelumnya (q-to-q) tumbuh sebesar 4,21%. Pertumbuhan pada kuartal II/2018 dipengaruhi faktor musiman. ”Ini capaian bagus sekali. Salah satu pemicunya momen puasa dan Lebaran. Memang ini masih di bawah target pemerintah yang sebesar 5,4%,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Industri Berbasis Ekspor Perlu Digenjot"
Post a Comment